Kita memang telah terasing di tengah masyarakat yang
rusak, tapi jangan menambah keterasingan itu dengan kejumudan –kekakuan- metode
dakwah.
Seorang da’i hendaknya peka terhadap persoalan-persoalan yang
terjadi di tengah masyarakat. Baik itu persoalan yang mendasar ataupun yang
temporer. Dari situ seorang da’i bisa menentukan langkah-langkah dan metode
dakwah yang dilakukan agar dakwahnya lebih efektif dan lebih mudah diterima
oleh masyarakat.
Seorang da’i yang tidak memperhatikan keadaan objek
dakwahnya, boleh jadi dakwahnya akan sulit diterima. Kadang dakwah tidak
diterima bukan karena isi dakwahnya, tapi cara menyampaikannya yang kurang
menyentuh di hati objek dakwah.
Kekakuan akan menimbulkan kebosanan, memupus semangat
dan akan membuat jarak.
Seorang da’i tidak sepantasnya kaku dalam hal metode,
sebab metode dalam berdakwah adalah hal ijtihadiyah. Ia hanya sebatas sarana,
alat atau media untuk mempermudah sampainya dakwah kepada objek dakwah. Hukum
asal sarana adalah sesuai dengan tujuannya. Analoginya, sebagaimana pisau jika
digunakan untuk hal mubah maka hukum menggunakannya adalah mubah, tapi jika
digunakan untuk sesuatu yang haram misalnya menumpahkan darah yang haram untuk
ditumpahkan maka hukum menggunakannya tentu haram.
Jadi, selama hal itu tidak bertentangan dalam kaca
mata syari’at dan membawa manfaat yang banyak maka metode itu boleh saja
diterapkan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala pun ketika mengutus para
Nabi dan rasul-Nya kepada suatu kaum, maka Dia membekali para utusan-Nya dengan
mukjizat yang sesuai dengan keadaan kaum di mana para utusan tersebut di utus.
-----------------------------------------------------********
Kami sempat melakukanya di awal-awal
kami mengenal dakhwah di kampus karena kebodohan kami akan ilmu. Kemudian kami
ingin membagainya supaya ikhwan-akhwat bisa mengambil pelajaran dan
mengingatkan mereka yang telah lama mengenal anugrah dakwah kampus khususnya
harokah-harokah kami pribadi. Beberapa hal tersebut ada sepuluh berdasar
pengalaman kami:
1. Merasa lebih tinggi derajat dan akan terbebas dari
dosa karena sudah merasa mengenal Islam yang benar.
2. Terlalu semangat menuntut ilmu agama sampai lupa
kewajiban yang lain.
3. Kaku dalam menerapkan ilmu agama padahal Islam adalah
agama yang mudah.
4. Keras dan kaku dalam berdakwah.
5. Suka berdebat dan mau menang sendiri bahkan
menggunakan kata-kata yang kasar.
6. Menganggap orang di luar dakwah-nya sebagai saingan
bahkan musuh.
7. Berlebihan membicarakan kelompok tertentu dan ustadz/
tokoh agama tertentu.
8. Tidak serius belajar bahasa arab.
9. Tidak segera mencari lingkungan dan teman yang baik.
10. Hilang dari pengajian dan kumpulan orang-orang yang
shalih serta tenggelam dengan kesibukan dunia.
Kemudian kami coba jabarkan satu-persatu.
1. Merasa
lebih tinggi derajat dan akan terbebas dari dosa karena sudah merasa mengenal
Islam yang benar
Ketika
awal-awal mengenal dakwah ahlus sunnah bisa jadi ada rasa bangga dan sombong
bahwa ia telah mendapat hidayah dan merasa ia sudah selamat
dunia-akherat. Padahal ini baru saja fase yaqzhoh [bangun
dari tidur], awal mengangkat jangkar kapal, baru akan mulai mengarungi ilmu,
amal, dakwah dan bersabar di atasnya.
Ingatlah,
janganlah kita menganggap diri kita akan selamat dari dosa dan maksiat hanya
karena baru mengenal dakwah ahlus sunnah. Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman,
فَلَا تُزَكُّوا أَنفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
“Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui siapa orang yang bertakwa.” (QS.
An-Najm: 32)
Muhammad
bin Ya’qub Al-Fairuz Abadi rahimahullah menukil
penafsiran Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma tentang
ayat ini:
فَلَا تبرئوا أَنفسكُم من الذُّنُوب {هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقى}
من الْمعْصِيَة وَأصْلح
“Jangan
kalian membebaskan diri kalian dari dosa dan Dialah yang paling mengetahui
siapa yang bertakwa/takut dari maksiat dan membuat perbaikan” [Tanwirul Miqbaas min tafsiri Ibni Abbaas 1/447,
Darul Kutubil ‘Ilmiyah, Libanon, Asy-Syamilah]
Seharusnya
jika kita menisbatkan pada dakwah salafiyah maka ingatlah pesan salaf
[pendahulu] kita yaitu sahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu,
لو تعلمون ذنوبي ما وطئ عقبي اثنان، ولحثيتم التراب على
رأسي، ولوددت أن الله غفر لي ذنبا من ذنوبي، وأني دعيت عبد الله بن روثة. أخرجه
الحاكم وغيره.
“Kalau
kalian mengetahui dosa-dosaku maka tidak akan ada dua orang yang berjalan di
belakangku dan sungguh kalian akan melemparkan tanah di atas kepalaku, dan
aku berangan-angan Allah mengampuni satu dosa dari dosa-dosaku dan aku
dipanggil Abdullah bin Kotoran.” (HR.Hakim dalam
Al-Mustadrok 3:357, no 5382, Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf 7:103, no
34522dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman 1: 504, no 848, shahih)
2. Terlalu
semangat menuntut ilmu agama sampai lupa kewajiban yang lain
Semua
ikhwan-akhwat baru “ngaji” pasti semangat menuntut ilmu, karena banyak ilmu
agama yang selama ini mereka yakini kurang tepat dan mereka dapatkan jawabannya
dalam manhaj dakwah salafiyah yang ilmiyah. Akan tetapi ada yang terlalu
semangat menuntut ilmu sampai lupa kewajibannya. Contoh kasus:
-
Ikhwan kuliah di kampus, ia diberi amanah oleh orang tuanya untuk belajar di
kota A, menyelesaikan studinya, pulang membawa gelar dan membahagiakan
keduanya. Kedua orang tua bersusah payah membiayainya. Akan
tetapi ia sibuk belajar agama di sana – di sini dan lalai dari amanah orang tua
yang WAJIB juga ditunaikan. Nilainya hancur dan terancam Drop Out. Tentu saja orang tuanya bertanya-tanya dan malah
menyalahkan dakwah salafiyah yang ia anut. Ia pun tidak menjelaskan dengan
baik-baik kepada kedua orang tuanya.
-
Seorang suami yang sibuk menuntut ilmu agama dan menelantarkan istri dan
anaknya. Melakukan safar tholabul ilmi ke
berbagai daerah, langsung membeli kitab-kitab yang banyak dan mahal. Padahal ia
agak kesusahan dalam ekonomi dan tidak memberikan pengertian kepada istri dan
anak-anaknya.
Kita
seharusnya memperhatikan firman Allah:
وَلاَ تُسْرِفُواْ إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Dan
janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang
berlebih-lebihan.” (QS. Al-An’am: 141). Artinya, mempelajari
ilmu juga harus bisa memperhatikan kewajiban lainnya, yaitu kewajiban bakti
pada orang tua dan memberi nafkah pada keluarga. Dan jika kita perhatikan,
orang-orang seperti ini hanya [maaf] “panas-panas tahi ayam”. Semangat hanya
beberapa bulan saja setelah itu kendor bahkan futur [malas dan jenuh].
3. Kaku
dalam menerapkan ilmu agama padahal Islam adalah agama yang mudah
Allah Ta’ala mengkhendaki kemudahan bagi hamba-Nya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ
الْعُسْرَ
“Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. (QS.
Al-Baqarah: 185)
Sebagian
ikhwan-akhwat yang baru “ngaji” mungkin dikarenakan masih sedikitnya ilmu
terlalu kaku menerapkan ilmu agama sehingga sehingga nampaknya islam adalah
agama yang sulit dan tidak fleksibel. Contoh kasus:
- Seorang akhwat ingin memakai cadar agar bisa menerapkan dan
melestarikan sunnah agama islam. Akan tetapi semua keluarganya melarangnya
bahkan keras karena nanti disangka teroris dan lingkungan akhwat tersebut
sangat aneh dengan cadar. Ia sudah menjelaskan dengan baik-baik
tetapi keluarganya yang sangat awam masih belum bisa menerima. Orang tuanya
bahkan tidak ridha dan hubungan silaturahmi dengan keluarga menjadi terputus. Dalam kasus ini:
Apabila ia menyakini bahwa cadar hukumnya sunnah maka
diterapkan kaidah:
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
“Menolak
mafsadat didahulukan daripada mendatangkan mashlahat”. Jika ia
memakai cadar maka mendatangkan mashlahat yaitu melaksanakan sunnah, jika ia
tidak pakai cadar maka menolak mafsadat yaitu tidak ridhanya ortu dan putus
silaturhami. Maka dengan kaidah ini ia wajib menolak mafsadat dengan tidak
memakai cadar. Selain itu hukum wajib didahulukan dari hukum sunnah.
-
Begitu juga dengan kasus seorang akhwat kuliah di luar kota, ia harus safar
tanpa mahram dan tidak tahan kuliah ikhtilat [bercampur-baur
laki-laki dan perempuan], maka ia
memutuskan tidak melanjutkan kuliah. Sehingga diminta pulang oleh orang
tuanya. Akan tetapi di tempatnya tidak ada kajian dan mejelis ilmu
sehingga ia menjadi futur karena ia baru-baru “ngaji”. Sedangkan di kota tempat
ia kuliah ada banyak majelis ilmu. Maka keputusan ia berhenti kuliah
kurang tepat. Karena diterapkan kaidah:
إذا تعارض ضرران دفع أخفهما.
” Jika
ada dua mudharat (bahaya) saling berhadapan maka di ambil yang paling ringan “
Dan banyak
kasus yang lain. Intinya kita harus banyak-banyak berdiskusi
dengan ustadz dan orang yang berilmu jika mendapatkan seuatu dalam agama yang
berat dan sesak terasa jika kita jalankan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ
عَلَى اللّهِ
“Dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu . Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah.” (QS. Ali
Imron: 159)
4. Keras
dan kaku dalam berdakwah
Mungkin ini
disebabkan karena terlalu semangat ingin meyebarkan dakwah manhaj salafiyah.
Akan tetapi karena sedikitnya ilmu tentang tata-cara berdakwah, dakwah terkesan
kaku dan keras. Contoh kasus:
-
Seorang pemuda yang baru mengenal dakwah, ketika pulang langsung menceramahi
orang tuanya dan kakeknya. Dan berkata ,“ini haram”, itu bid’ah, ini syirik”.
Tentunya saja kakeknya akan berkata, “Kamu anak ingusan kemaren sore, baru saya
ganti popokmu, sudah berani ceramahi saya?”.
-
Seorang ikhwan yang baru tahu hukum tahlilan setelah kematian adalah bid’ah.
Kemudian ia datang kekumpulan orang yang melakukannya dalam suasana duka. Ia
sampaikan ke majelis tersebut bahwa ini bid’ah.maka bisa jadi ia pulang tinggal
nama saja.
-
Seorang akhwat yang ingin mendakwahkan temannya yang masih sangat awam
atau baru masuk islam. Ia langsung mengambil tema tentang cadar, jenggot,
isbal, bid’ah, hadist tentang perpecahan dan firqoh. Ia juga langsung
membicarakan bahwa aliran ini sesat, tokoh ini sesat dan sebagainya.
Seharusnya ia mengambil tema tauhid dan keindahan serta kemudahan dalam islam.
Seharusnya
berdakwah dengan cara yang lembut serta penuh hikmah. Dan berdakwah ada
tingkatan, cara dan metodenya. Berpegang pada prinsip yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan,
يَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا وَبَشِّرُوا وَلَا تُنَفِّرُوا
“Mudahkan dan jangan mempersulit, berikan kabar gembira dan jangan
membuat manusia lari” (HR. Bukhari, Kitabul ‘Ilmu no.69)
5. Suka
berdebat dan mau menang sendiri bahkan menggunakan kata-kata yang kasar
Karena
terlalu semangat berdakwah akan tetapi tanpa disertai ilmu. Maka ada sebagian
ikhwan-akhwat baru “ngaji” sering terjatuh dalam kebiasaan suka berdebat. Dan parahnya, ia baru hanya tahu hukumnya saja, tidak mengetahui
dan menghafal dalil serta tidak tahu metode istidlal [mengambil
dalil]. Jadi yang ada hanya berdebat saling “ngotot” tentang hukum sesuatu.
apalagi mengeluarkan katakata yang kasar sampai mencaci-maki dan
menyumpah-serapah.
Memang ada
yang sudah hafal dalilnya dan mengetahui metode istidlal (cara
pendalilan). Akan tetapi, ia tidak membaca situasi dakwah, siapa objek dakwah,
waktu berdakwah ataupun posisi dia saat mendakwahkan.
Dan ada
juga yang berdebat karena ingin menunjukkan bahwa ia ilmunya tinggi, banyak
menghafal ayat dan hadist, mengetahui ushul fiqh dan kaidah-kaidahnya.
Memang
saat itu kita menang dalam berdebat karena manhaj salafiyah
ilmiyah. Akan tetapi tujuan berdakwah dan nasehat tidak sampai. Orang tersebut
sudah dongkol atau sakit hati karena kita
berdebat dengan cara yang kurang baik bahkan menggunakan kata-kata yang kasar.
Hatinya tidak terima karena merasa sudah dipermalukan, akibatnya ia gengsi
menerima dakwah. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ
النَّصِيْحَةُ،
“Agama
itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat”. (HR.
Muslim 55/95)
Yang
dimaksud dengan nasehat adalah menghendaki kebaikan. Jadi bukan tujuannya menunjukan
kehebatan berdalil dan menang dalam berdebat.
Mengenai
suka berdebat, para nabi dan salafus shalih sudah memperingatkan kita tentang
bahayanya. Nabi Sulaiman ‘alaihis salam berkata
kepada anaknya,
يَا
بُنَيَّ، إِيَّاكَ وَالْمِرَاءَ، فَإِنَّ نَفْعَهُ قَلِيلٌ، وَهُوَ يُهِيجُ
الْعَدَاوَةَ بَيْنَ الْإِخْوَانِ “
“Wahai anakku, tinggalkanlah mira’ (jidal, mendebat karena
ragu-ragu dan menentang) itu, karena manfaatnya sedikit. Dan ia membangkitkan
permusuhan di antara orang-orang yang bersaudara.” (Syu’abul Iman: 8076 Al-Baihaqi, cetakan
pertama, Darul Rusdi Riyadh, Asy-syamilah)
Mengenai
berkata-kata kasar, maka ini tidak layak keluar dari lisan seseorang yang
mengaku menisbatkan diri pada manhaj salaf. Renungkan firman Allah Ta’ala,
اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى ْ فَقُولَا لَهُ
قَوْلاً لَّيِّناً لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
“Pergilah
kamu berdua kepada Fir’aun,
sesungguhnya dia telah melampaui batas. maka berbicaralah kamu berdua
kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau
takut”. (QS. At-Thoha: 43-44). Kepada orang selevel Fir’aun
saja harus berdakwah dengan kata-kata yang lemah lembut, apalagi kita akan
mendakwahkan saudara kita seiman? Maka gunakanlah kata-kata yang lembut dan
bijaksana lagi penuh hikmah.
6. Menganggap
orang di luar dakwah ahlus sunnah sebagai saingan bahkan musuh
Ikhwan-akhwat
baru “ngaji” yang sedang semangat-semangatnya berdakwah ada sebagian yang
melihat orang diluar dakwah ahlus sunnah adalah saingan mereka. Padahal mereka
adalah sasaran dakwah juga bukan saingan dakwah. Mereka adalah saudara seiman
kita. Mereka berhak medapatkan hak-hak persaudaraan dalam islam. Seharusnya kita lebih mengasihi dan menyayangi mereka karena
mereka punya semangat membela dan menyebarkan islam hanya saja mereka sudah
terlanjur salah dalam memahami Islam. Mereka tidak seberuntung
kita medapatkan anugrah dakwah ahlus sunnah. Contohnya:
- Di kampus, ketika bertemu dengan teman-teman yang berdakwah tidak
dengan dakwah ahlus sunnah, maka mukanya sangar, cemberut, tidak mau menyapa
dan tidak membalas salam. Tidak mau duduk bermejelis dengan
mereka dan merasakan suasana kekeluargaan islami. Dan parahnya, malah dengan
orang kafir mereka lebih akrab dan hangat. Ketahuilah mereka saudara-sudara
seiman kita yang lebih patut mendapat perhatian dan dakwah dari kita. Tidak
heran jika saudara-saudara kita mengatakan, “Kok kita sesama orang islam saling
gontok-gontokan, tapi berbaikan dengan orang kafir”
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ
وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Sesungguhnya
orang-orang beriman itu bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah
hubungan) antara kedua saudaramu itu dan bertakwalah terhadap Allah, supaya
kamu mendapat rahmat.” (QS.
Al-Hujurat: 10)
- Di kampung,
ada ustadz /kiayi haji/ tuan guru/ tokoh masyarahat yang berdakwah
tidak dengan dakwah ahlus sunnah. Maka ada sebagian ikhwan-akhwat yang
seolah-olah meremehkan mereka, menganggap mereka aliran sesat, ilmunya salah
dan ngawur, Tidak menghormati mereka. Padahal belum tentu kita
lebih baik dari mereka. Bisa jadi mereka amalnya sedikit yang benar tapi sangat
ikhlas, mengalahkan amal kita yang –sekiranya benar insya Allah- tapi tidak
ikhlas dan dipenuhi dengan riya’ dan dengan rasa sombong mampu beramal. Seharusnya
kita memposisikan mereka sesuai dengan posisi mereka, menghormati mereka dan
memilih kata-kata dakwah yang baik dan tidak terkesan menggurui.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
bersabda memerintahkan agar kita memposisikan manusia sesuai dengan
kedudukuannya masing-masing. Salah satu penerapan beliau adalah surat
beliau kepada raja Romawi Heraklius:
باسم
الله الرحمان الرحيم
من محمد
رسول الله إلى عظيم الروم
“Dengan
nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dari Muhammad utusan Allah
kepada pembesar/ tokoh besar Romawi”
Kemudian
jika mereka tidak menerima dakwah kita maka ada sebagian ikhwan-akhwat yang
langsung mengangapnya sebagai musuh. Mereka akan merusak agama islam, mencap
sebagai ahli bid’ah dan syirik dan tahu kaidah pembid’ahan dan
pengkafiran. Padahal mereka tetap saudara kita dan masih
berhak mendapatkan hak-hak persaudaraan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا تحاسدوا ولا تَناجَشُوا ولا تباغضوا ولا تدابروا ولا يَبِعْ بَعْضُكُمْ
عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ,وكونوا عباد الله إخواناً. اَلْمُسْلِمُ أَخُو المسلمِ: لا
يَظْلِمُهُ ولا يَخْذُلُهُ ولا يَكْذِبُهُ ولا يَحْقِرُهُ
“Jangan kalian saling hasad, jangan saling melakukan najasy,
jangan kalian saling membenci, jangan kalian saling membelakangi, jangan
sebagian kalian membeli barang yang telah dibeli orang lain, dan jadilah
kalian sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim
adalah saudara muslim bagi lainnya, karenanya jangan dia menzhaliminya, jangan
menghinanya, jangan berdusta kepadanya, dan jangan merendahkannya.(HR.
Muslim no. 2564)
Jika
mereka tidak menerima, maka tugas kita hanya menyampaikan saja. Mereka
terima Alhamdulillah , jika tidak diterima jangan dipaksa dan
dimusuhi. Karena kita hanya memberikan hidayah ‘ilmu wal bayan berupa penjelasan, sedangkan
hidayah taufiq hanya ditangan Allah. Seharusnya kita
mendoakan mereka semoga mandapatkan hidayah, bukan dimusuhi.
Lihatlah
tauladan kita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam tatkala pergi ke Thaif untuk berdakwah sekaligus meminta
perlindungan kepada mereka dari tekanan kafir Quraisy setelah meninggalnya
paman beliau Abu Thalib. Akan tetapi Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam diusir dengan lemparan batu, caci-maki dan ejekan. Tubuh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia sampai
berdarah-darah. Perasaan beliau makin sedih karena saat itu
tahun-tahun ditinggal juga oleh istrinya Khadijah radhiallahu
‘anha, pendukung dakwah beliau. Kemudian datanglah malaikat Jibril
‘alaihissalam memberi tahu bahwa malaikat penjaga bukit siap diperintah
jika beliau ingin menimpakan bukit tersebut kepada orang-orang Thaif. Malaikat
tersebut berkata,
يَا مُحَمَّدُ، فَقَالَ، ذَلِكَ فِيمَا شِئْتَ، إِنْ
شِئْتَ أَنْ أُطْبِقَ عَلَيْهِمُ الأَخْشَبَيْن
“Wahai
muhammad, terserah kepada engkau, jika engkau mnghendaki aku menghimpitkan
kedua bukit itu kepada mereka”
Tapi
apa yang keluar dari lisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam? Doa kepada penduduk Thoif. Beliau
berdoa,
بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ أَصْلاَبِهِمْ
مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ وَحْدَهُ، لاَ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا
“Bahkan aku berharap Allah akan mengeluarkan dari tulang sulbi
mereka keturunan yang akan menyembah Allah semata, tidak disekutukanNya dengan
apa pun” [kisah yang panjang bisa dilihat di shahih Bukhari no.
3231]
Subhanallah, kita
sangat jauh dari cara Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berdakwah. Dan terbukti doa beliau mustajab. Penduduk
Thoif tidak lama menjadi salah satu pembela islam dan mengikuti
peperangan jihad membela islam.
Mengenai
berwajah sangar, seram dan cemberut terus seolah-olah prajurit perang yang
marah. Mungkin ini salah persepsi sebagian ikhwan-akhwat karena mereka
sering dan terlalu banyak melihat syirik, bid’ah dan maksiat dimana-mana.
Seolah-olah menunjukan mereka ingin mengingkari semuanya. Tetapi
Islam tidak mengajarkan demikian, seorang muslim berprinsip “Berwajah ceria
bersama manusia dan berlinang air mata akan dosanya saat sendiri bermunajat
kepada rabb-nya”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
لَا تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا، وَلَوْ أَنْ
تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ
“Janganlah
engkau remehkan suatu kebajikan sedikitpun, walaupun engkau bertemu dengan
saudaramu dengan wajah yang ceria/bermanis muka”. (HR.
Muslim no. 2626)
7. Berlebihan
membicarakan kelompok tertentu dan ustadz/tokoh agama tertentu
Ada
sebagian ikhwan-akhwat yang terlalu tenggelam dan sibuk membicarakan masalah
perpecahan dan firqoh. Memang kita harus mempelajarinya agar tahu mana yang
selamat, akan tetapi kita jangan terlalu menyibukkan diri membicarakan
kelompok-kelompok tersebut. Tema yang terlalu sering
diangkat dalam kumpul-kumpul, majelis dan pengajian adalah sesatnya kelompok
ini, jangan ikut kajian dengan kelompok itu, menerapkan hajr/memboikot
di sana-sini tanpa tahu kaidah meng-hajr. Akhirnya sibuk dan
lalai mempelajari tauhid, aqidah, akhlak,
fiqh keseharian dan bahasa arab.
Seharusnya
ada prioritas dalam belajar. Hendaknya kita lebih memprioritaskan pembicaraan
tentang tauhid dan
akidah. Itulah seruan pertama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika
ingin berdakwah. Beliau bersabda kepada Muadz yang diutus ke Yaman,
إنك تأتي قوما من أهل الكتاب، فليكن أول ما تدعوهم إليه
شهادة أن لا إله إلا الله ” – وفي رواية: إلى أن يوحدوا الله
“Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum Ahli kitab maka hendaklah
dakwah yang pertama kali engkau sampaikan kepada mereka adalah syahadat Laa ila
Illallah , dalam riwayat yang lain: supaya mereka mentauhidkan Allah”.
(Muttafaqun ‘alaih)
Selain
membicarakan kelompok, sebagian ikhwan-akhwat juga sibuk membicarakan kesalahan
dan kejelekan ustadz/tokoh tertentu. Mencap sebagai ahli bid’ah
tanpa tahu kaidah pembid’ahan atau mencap kafir tanpa tahu kaidah pengkafiran. Tidak
mau ikut pengajian ustadz fulan. Bahkan sampai tingkat ulama. Syaikh fulan
terjatuh dalam aqidah Murji’ah, syaikh fulan ikut merestui
kelompok sesat, syaikh fulan sudah ditahzir/diperingati
oleh syaikh fulan. Parahnya, info yang sampai ke
dia hanya qiila wa qoola, berita-berita yang tidak jelas dan belum
tahu apakah sudah tabayyun/klarifikasi atau belum. Akhirnya
sibuk mencari-cari aib orang lain. Membicarakan kesalahan orang lain.
Seharusnya
kita lebih banyak mencari kesalahan kita, merenungi dosa-dosa kita yang banyak.
Seharunya kita ingat perkataan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
يبصر أحدكم
القذاة في أعين أخيه، وينسى الجذل- أو الجذع – في عين نفسه
“Salah seorang dari kalian dapat melihat kotoran kecil di mata
saudaranya tetapi dia lupa akan kayu besar yang ada di matanya.”
(HR. Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 592. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
riwayat ini shahih)
Ustadz/
tokoh tersebut jika memang ia salah, belum tentu kita lebih baik
dari mereka. Bisa jadi amal mereka sedikit yang benar tapi sangat ikhlas.
Sedangkan kita, seandainya banyak amal kita yang sesuai sunnah tapi tidak
ikhlas, dipenuhi riya’ dan rasa sombong mampu beramal banyak. Ajaran
islam mengajarkan agar kita tawaddhu’, rendah hati dan mengaggap orang lain
lebih baik dari kita.
‘Abdullah
Al Muzani rahimahullah berkata,
إن عرض لك
إبليس بأن لك فضلاً على أحد من أهل الإسلام فانظر، فإن كان أكبر منك فقل قد سبقني
هذا بالإيمان والعمل الصالح فهو خير مني، وإن كان أصغر منك فقل قد سبقت هذا
بالمعاصي والذنوب واستوجبت العقوبة فهو خير مني، فإنك لا ترى أحداً من أهل الإسلام
إلا أكبر منك أو أصغر منك.
“Jika
iblis memberikan was-was kepadamu bahwa engkau lebih mulia dari muslim lainnya,
maka perhatikanlah. Jika ada orang lain yang lebih tua darimu, maka seharusnya
engkau katakan, “Orang tersebut telah lebih dahulu beriman dan beramal sholih
dariku, maka ia lebih baik dariku.” Jika ada orang lainnya yang lebih
muda darimu, maka seharusnya engkau katakan, “Aku telah lebih dulu bermaksiat
dan berlumuran dosa serta lebih pantas mendapatkan siksa dibanding dirinya,
maka ia sebenarnya lebih baik dariku.” Demikianlah sikap yang seharusnya
engkau perhatikan ketika engkau melihat yang lebih tua atau yang lebih muda
darimu.” (Hilyatul Awliya’ 2/226, Abu Nu’aim Al Ashbahani,
Asy-Syamilah)
8. Tidak
serius belajar bahasa arab
Mungkin
ikhwan-akhwat yang baru “ngaji” sekalipun sudah tahu bahwa hukum mempelajari
bahasa Arab, yaitu fardhu. Ada juga yang merinci fardhu ‘ain bagi mereka yang
mampu belajar dan bagi orang-orang yang akan banyak berbicara agama seperti
calon ustadz dan
aktifis dakwah. Kemudian fardhu kifayah bagi mereka yang tidak mampu otaknya
seperti orang yang sangat tua. Fadhu ‘ain juga pada ilmu yang mencukupkan ia
paham agamanya dan fadhu kifayah pada ilmu tambahan seperti ilmu syair.
Sebagaimana perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah:
“Di
sana ada bagian dari bahasa Arab yang wajib ‘ain dan ada yang wajib
kifayah. Dan hal ini sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh
Abu Bakar bin Abi Syaibah, dari ‘Isa bin Yunus dari Tsaur, dari Umar bin Yazid,
beliau berkata: Umar bin Khottob menulis kepada Abu Musa Al-Asy’ari (yang
isinya), “Pelajarilah As-Sunnah, pelajarilah bahasa Arab dan I’roblah Al-Qur’an
karena Al-Qur’an itu berbahasa Arab.” (Iqtidho’Shirotal Mustaqim hal 527 jilid I, tahqiq
syaikh Nashir Abdul karim Al–‘Aql, Wizarot Asy Syu-un Al Islamiyah
wal Awqof)
Bahasa Arab
sangat penting, karena sarana memahami islam. Sehingga kita bisa mudah
menghapal Al-Quran dan hadist, mudah tersentuh dengan Al-Quran, memahami
buku-buku ulama. Hanya orang yang menguasai bahasa arab yang bisa merasakan
manisnya menuntut ilmu.
Tetapi ada
sebagian ikhwan-akhwat yang lalai belajar bahasa Arab, tidak serius dan ada
juga yang menyerah belajar bahasa arab. Hal ini membuat mereka kurang kokoh
dalam beragama. Dan setelah diperhatikan, Ikhwan-akhwat yang
kemudian kendor menunut ilmu dan hilang semangat belajar agama bahkan futur
adalah mereka yang tidak serius belajar bahasa arab.
Prosesnya
mungkin seperti ini: pertama mereka semangat ikut kajian di
sana-sini, kemudian mulai bosan dengan kajian yang
temanya itu-itu saja. Dan berpikir materi seperti ini bisa dibaca di rumah dan
di internet. Akhirnya hilang dari pengajian dan kumpulan orang-orang shalih.
Kemudian dengan membacapun agak bosan [inipun kalau ia rajin membaca], Karena
buku-buku terjemahan dan artikel materinya sangat terbatas. Akhirnya ia malah
disibukkan dengan hal-hal yang kurang bermanfaat seperti facebook dan internet
berjam-jam, ngobrol-ngobrol tentang akhwat padahal belum mau nikah dan
lain-lain. Bahkan terjerumus dalam hal-hal yang haram. Ibnu Qayyim
Al-Jauziyah rahimahullah berkata:
وَنَفْسُكَ إِنْ أَشْغَلَتْهَا بِالحَقِّ وَإِلاَّ
اشْتَغَلَتْكَ بِالبَاطِلِ
“Jika
dirimu tidak disibukkan dengan hal-hal yang baik, pasti akan disibukkan dengan
hal-hal yang batil” (Al Jawabul Kaafi hal
156, Darul Ma’rifah, cetakan pertama, Asy-Syamilah).
Berbeda
dengan mereka yang mengusai bahasa arab. Mereka semakin tertantang
untuk belajar banyak ilmu dan tingkatan ilmu yang lebih tinggi seperti ilmu
mustholah hadist, kaidah fiqh, ushul fiqh, mendengarkan muhadharah/ceramah
syaikh dan menelaah kitab-kitab ulama yang tebal dan berjilid-jilid. Sehingga
mereka selalu disibukkan dengan ilmu, amal dan dakwah. Finally, mereka pun bisa
merasakan kebahagian dan manisnya ilmu syar’i.
9. Tidak
segera mencari lingkungan dan teman yang baik
Lingkungan
dan teman sangat penting, karena sangat berpengaruh dengan diri kita.
Ikhwan-akhwat yang baru “ngaji” biasanya masih mudah goyang dan tidak stabil,
karena diperlukan teman-teman yang shalih dan baik. Bisa dilakukan dengan tinggal di wisma atau kost-kostan khusus
ikhwan dan khusus akhwat. Atau jika memungkinkan pindah kelingkungan sekitar
pondok atau perumahan yang banyak ikhwannya. Atau jika tidak bisa,
sering-sering silaturahmi ke ikhwan-akhwat yang shalih dan shalihah serta
berkumpul bersama mereka. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ
وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan
hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar(jujur).” (QS. At
Taubah: 119)
Jika tidak,
maka sudah sering terdengar cerita banyak ikhwan-akhwat yang dulunya semangat
“ngaji” sekarang sudah futur dan hilang dari peredaran dakwah. lingkungan dan
teman yang baik memang dibutuhkan bagi semua orang.
Mengenai
teman yang baik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ
كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ ، وَكِيرِ الْحَدَّادِ ، لاَ يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ
الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ ، أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ ، وَكِيرُ الْحَدَّادِ
يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً
“Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang sholih dan orang yang
jelek adalah bagaikan berteman dengan pemilik minyak misk dan pandai besi. Jika
engkau tidak dihadiahkan minyak misk olehnya, engkau bisa membeli darinya atau
minimal dapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak
mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau dapat baunya
yang tidak enak.” (HR. Bukhari no. 2101)
Perlu
diperhatikan bahwa hati manusia lemah, apalagi jika sendiri. Perlu dukungan,
saling menasehati antarsesama. Selevel Nabi Musa ‘alaihissalam saja
memohon kepada Allah agar punya teman seperjuangan yang bisa membantunya dan
membenarkan perkataannya, yaitu Nabi Harun alaihissalam .
Beliau berkata dalam Al-Quran,
وَأَخِي هَارُونُ هُوَ أَفْصَحُ مِنِّي لِسَاناً فَأَرْسِلْهُ
مَعِيَ رِدْءاً يُصَدِّقُنِي إِنِّي أَخَافُ أَن يُكَذِّبُونِ
“Dan
saudaraku Harun dia lebih fasih lidahnya daripadaku , maka utuslah dia
bersamaku sebagai pembantuku untuk membenarkan (perkataan)ku; sesungguhnya aku
khawatir mereka akan mendustakanku”.(QS.
Al-Qashash: 34)
10. Hilang
dari pengajian dan kumpulan orang-orang shalih serta tengelam dengan kesibukan
dunia
Penyebab
terbesar futur adalah point ini. Majelis
ilmu adalah tempat mere-charge keimanan
kita, setelah terkikis dengan banyaknya fitnah dunia yang kita hadapi.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ
يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ
عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ
وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
“Tidaklah
suatu kaum berkumpul di satu rumah Allah, mereka membacakan kitabullah dan
mempelajarinya, kecuali turun kepada mereka ketenangan, dan rahmat menyelimuti
mereka, para malaikat mengelilingi mereka dan Allah memuji mereka di hadapan
makhluk yang ada didekatnya”. (HR. Muslim
nomor 6793)
Dan
orang-orang shalih adalah pendukung dan penguat iman kita dengan saling
menasehati. Di mana dengan berteman dengan mereka, maka kita akan sering
mengingat akherat dan menjadi tegar kembali dalam beragama. sebagaimana Ibnul
Qoyyim rahimahullahu berkata,
وكنا إذا اشتد بنا الخوف وساءت منا الظنون وضاقت بنا الأرض
أتيناه، فما هو إلا أن نراه ونسمع كلامه فيذهب ذلك كله وينقلب انشراحاً وقوة
ويقيناً وطمأنينة
“Kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah), jika kami ditimpa perasaan
takut yang berlebihan, atau timbul dalam diri kami prasangka-prasangka buruk,
atau (ketika kami merasakan) kesempitan hidup, kami mendatangi
beliau, maka dengan hanya memandang beliau dan mendengarkan ucapan
beliau, maka hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan berganti dengan
perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang.” (Al Waabilush Shayyib hal 48, cetakan ketiga, Darul Hadist,
Asy-Syamilah)
Tidak
sedikit kita mendengar berita:
- Ikhwan
yang dulunya semangat mengaji dan menjadi panitia-panitia kajian,
kemudian bekerja di perusahaan kota A dengan gaji yang menggiurkan sekarang
sudah potong jenggot, isbal, berpacaran dan seolah-olah menjauh dari
ikhwan-ikhwan jika di sms atau ditelpon.
- Akhwat
yang dulunya semangat menuntut ilmu, memakai jilbab lebar, memakai cadar bahkan
purdah, kemudian melanjutkan studi S2 atau S3 dikota B atau di luar negeri,
kemudian terdengar kabar bahwa ia sudah memakai jilbab ala kadar yang kecil
“atas mekkah bawah amerikah”.
Terkadang
kita tidak percaya dengan berita-berita seperti ini. Bagaimana
mungkin dulu ia adalah guru bahasa arab, imam masjid dan jadi rujukan
pertanyaan, sekarang menjadi seperti itu. semua ini bisa jadi karena tenggelam
dengan kesibukan dunia dan terkikis fitnah secara perlahan-lahan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memisalkannya
seperti tikar, beliau bersabda,
تُعْرَضُ الْفِتَنُ عَلَى الْقُلُوبِ كَالْحَصِيرِ عُودًا
عُودًا
“Fitnah-fitnah akan mendatangi hati bagaikan anyaman tikar yang
tersusun seutas demi seutas”. (HR.Muslim no 144)
Demikian
yang dapat kami jabarkan. Dan dampak dari beberapa kesalahan tersebut adalah:
1. Merasakan kesempitan hidup setelah mengenal dakwah
ahlus sunnah
2. Dakwah tidak diterima oleh orang lain
4. Memecah belah persatuan umat Islam
Kemudian
marilah kita banyak-banyak berdoa agar diberi istiqomah beragama yang merupakan
anugrah terbesar.
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ
“Yaa muqollibal qulub tsabbit qolbi ‘ala diinik”
artinya: ‘Wahai Zat yang membolak-balikkan hati teguhkanlah hatiku di atas
agama-Mu’ (HR. Tirmidzi no 2066. Ia berkata: “Hadits Hasan”,
dishahihkan oleh Adz-Dahabi)
Alhamdulillahilladzi
bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa
‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

0 komentar